Parkir Sepeda

Dengan sepeda sebagai alat transportasi utama pribadi saya di Jepang, sudah merupakan hal yang maklum untuk berurusan dengan masalah perparkiran.

Di Indonesia, memang sepeda sudah sangat jarang ditemukan, apalagi di kota-kota besar. Namun untuk sepeda motor saja, sistem parkirnya cukup rumit. Nomor polisinya dicatat, dan ketika mengambil kendaraan pun karcis dan STNK harus ditunjukkan untuk membuktikan kepemilikan atas kendaraan tersebut.

Sudah dilindungi dengan sistem serumit itu, kadang-kadang masih ada saja keluhan. Yang pernah saya dengar langsung adalah tukang parkir yang seharusnya menjaga kendaraan agar aman, malah merusak (mem-“baret” body) kendaraan karena pemilik kendaraan yang menolak memberikan insentif lebih kepada tukang parkir tersebut. Tentu tidak semua tukang parkir berlaku demikian, hanya oknum-oknum tertentu yang saya tidak tahu jumlahnya.

Dengan pemahaman akan keamanan kendaraan seperti di Indonesia, saya membayangkan sistem perparkiran di Jepang tentunya lebih aman, multi-proteksi, dan rumit.

Namun ekspektasi saya tidak sepenuhnya terbukti.

Tempat parkir sepeda di dekat stasiun kereta terdekat dari rumah saya, acap kali menolak pelanggan karena lahan parkirnya sudah penuh. Tempat parkir ini sangat populer, dengan harga 100 yen tiap kali parkir (bisa berjam-jam, bahkan seharian). Sistemnya: setiap pengendara yang masuk akan mendapatkan tiket. Ketika akan keluar, tiket tersebut akan dimasukkan ke dalam mesin di pintu keluar yang akan terbuka ketika kita membayar 100 yen. Bisa tunai atau dengan transportation card.

Mesin di pintu masuk dan keluar tidak ada yang memindai nomor polisi sepeda (di Jepang, sepeda ada nomor polisinya wkwkwk) ataupun wajah pemiliknya. Ketika tiket masuk itu hilang, kita cukup membayar denda 500 yen. Kasarnya, kita bisa saja masuk ke lahan parkir tersebut, mengambil sepeda orang lain, dan keluar dengan hanya membayar 500 yen. Sangat mudah.

Ada tempat parkir lain yang bahkan tidak memiliki gerbang masuk dan keluar. Hanya lahan kosong dengan rantai-rantai sepeda yang berjejer. Ketika kita memasukkan sepeda ke dalam rantai terbuka tersebut, secara otomatis rantai tersebut akan terbuka ketika kita mengetikkan nomor rantai dan membayar 100 yen. Artinya, kita bisa mendapatkan sepeda apapun hanya dengan 100 yen saja. Namun sepengetahuan saya, tidak ada sepeda yang pernah hilang. Bahkan, ketika lahan tersebut penuh, banyak sepeda yang akhirnya diparkir liar oleh pemiliknya di sela-sela rantai yang ada. Yang itu pun, tidak ada yang saya dengar pernah kehilangan sepeda.

Di Jepang, sebagian besar lahan parkir sepeda di lingkungan tempat tinggal saya tidak berbayar, misalnya di supermarket, di kantor pos, kampus, maupun di kantor kecamatan. Tidak ada yang menjaga? Jelas. Tidak takut sepedanya dicuri? Jelas tidak. Saya tidak pernah mengunci sepeda saya ketika parkir dan tidak pernah sekalipun sepedanya berpindah posisi apalagi hilang. Saya juga sering memarkir sepeda di apartemen atau kampus orang, juga tidak pernah hilang.

Sistem perparkiran di Jepang memang aman, namun jauh dari kesan multi-proteksi apalagi rumit. Teknologinya memang lebih canggih, namun tidak luput dari celah-celah. Namun sepeda-sepeda yang diparkir semuanya (setahu saya) aman.

Di sini saya menyadari bahwa elemen keamanan yang paling penting bukanlah sistem sekuriti yang rumit dan berlapis, namun mentalitas amanah dari para manusianya. Slogan Bang Napi yang berkata, “Kejahatan bisa terjadi bukan hanya karena niat pelakunya namun juga adanya kesempatan. (Waspadalah! Waspadalah!)” selalu saya artikan bahwa saya harus berhati-hati untuk tidak menciptakan kesempatan.

Karena di negeri saya tercinta, hampir selalu ada orang yang berniat buruk.

Di Jepang, saya tersadar bahwa kuncinya bukan di “kesempatan”-nya, namun di “niat pelaku”-nya.

Masya Allah, bagaimana agar dalam hati saudara-saudara setanah air saya bisa tertanam mentalitas semacam ini.

Pendidikan kah?

Semoga lekas bisa tercapai, aamiin.

Leave a comment